Beritaterheboh.com - Ketika aksi teror terjadi di mana-mana, di seantero dunia – kemampuan polisi kita dalam membekuk teroris sebel...
Beritaterheboh.com - Ketika aksi teror terjadi di mana-mana, di seantero dunia – kemampuan polisi kita dalam membekuk teroris sebelum beraksi – sungguh hebat. Meski demikian, banyak juga oknum yang meragukannya. Nyinyir. Bahkan ada yang keji menyebut penangkapan teroris itu sebagai “rekayasa” dan “aksi mengalihkan isu”.
Umumnya lontaran sinisme dan nyinyir itu datang dari politisi dari partai yang kalah Pilpres 2014 lalu – tokoh tokoh oposisi, pengamat yang tersingkir, dan pendukungnya di media sosial. Mereka masih juga belum bisa “move on” – belum legowo.
Coba bandingkan dengan Jerman, yang kecolongan hingga teroris menyabot truk dan menabrak pasar, menewaskan banyak warga tak berdosa, menjelang Natal ini. Di Brusel – Belgia, beberapa waktu lalu, bom meledak di Bandara. Di Paris ada penembakan di kantor tabloid. Di China, tukang jagal mengamuk di stasiun kereta api. Dan di Amerika – negeri yang terkenal canggih pengamanannya – bom panci meledak di tengah acara marathon, sehingga mendapat ekspose dunia.
Saya sering gemas melihat suara suara sumbang kepada polisi anti teror kita, Densus 88 – yang telah bersusah payah mencegah aksi terorisme. Padahal mengusut kasus terorisme seperti mencari jarum di antara tumpukan jerami. Dan teroris selalu belajar dari kesalahan dari aksi sebelumnya sehingga terus mengubah modus, strategi, meski kemudian mudah terbaca juga.
Jelas sekali di antara kita ada kelompok “nyinyires”, yang suka mencari-cari kesalahan. Kalau aksi teroris digagalkan, mereka menuding “rekayasa” – “sandiwara”. Kalau gagal, “polisi kebobolan”. Lalu menyalahkan aparat lagi. Ujungnya mendesak Presiden memecat Kapolda dan Kapolri.
Dalam suasana yang relatif tenang, banyak elite kita yang hatinya masih diliputi kebencian, dengki, tak bisa menerima kekalahan dalam pertarungan di panggung demokrasi. Mereka terus merawat kecurigaan, menebar kebencian, dan sibuk mencari cari kesalahan untuk menyudutkan pemerintah dan lawan politik.
Kita sepakat untuk memperjelas perbedaan mana kritik dan fitnah. Terhadap kritik kita terima. Tapi fitnah dan “hoax” wajib diproses. Setiap pernyataan yang meresahkan publik, wajib dipertanggung-jawabkan. Bahkan oleh anggota DPR yang merasa punya kekebalan sekalipun.
Kita dukung, ketegasan Bareskrim Polri yang tegas memanggil siapa saja yang bersuara sumbang, cenderung memfitnah, dalam rangka memelihara semangat korps yang telah menyabung nyawa untuk membekuk teroris dan melindungi masyarakat.
Jangan biarkan rakyat mengunyah info plintiran, kebencian dan provokasi atas nama kritik dan kebebasan berpendapat.
Kita sering dikecewakan oleh polisi untuk banyak hal. Kredebilitas Polri masih rendah. Tapi untuk Densus Antiteror, obyekif lah, kita terhebat di dunia! (poskotanews.com/dimas)