B eritaterheboh.com - Tulisan ini hanya sebuah kepenasaran. Sebuah kepenasaran sekaligus keheranan yang berangkat dari sikap inkon...
Beritaterheboh.com - Tulisan ini hanya sebuah kepenasaran. Sebuah kepenasaran sekaligus keheranan yang berangkat dari sikap inkonsistensinya seseorang lantaran demi jabatan yang ingin diraihnya. Begitu besarnya ambisi, seringkali melupakan apa yang pernah diucapkan, lupa apa yang diperbuatnya. Tapi betul juga pepatah dalam politik, “tidak ada kawan abadi, tidak ada musuh abadi” yang abadi adalah kepentingan. Kepentinganlah yang menyatukan semuanya.
Itulah yang hendak penulis komentari
melihat kerjasama Calon Gubernur Anies Baswedan-Sandiaga Uno dengan
Taipan Hary Tanoe dari Partai Perindo. Bagaimana tidak, belum kering
bibir ini dari ucapan Anies Baswedan ketika menghadiri acara Mata Najwa
di Metro TV beberapa waktu lalu. Pada kesempatan itu, Anies Baswedan
mengiyakan pertanyaan Najwa Shihab berkenaan persetujuannya dengan Habib
Rizieq mengenai kepemimpinan seorang muslim dan tidak bolehnya seorang
nonmuslim menjadi pemimpin berdasarkan surat Al-Maidah ayat 51.
Kata-kata “Awliya” dalam ayat tersebut bisa diartikan sebagai “teman setia” tapi bisa juga diartikan “pemimpin.”
Dari sana timbul analogi demikian,
mengambil orang nonmuslim atau kafir sebagai teman setia saja tidak
boleh apalagi memilihnya menjadi pemimpin ? Nah, lho, bagaimana pula
dengan perasaan Habib Rizieq yang beberapa waktu lalu ketika menjadi
saksi di persidangan Ahok yang ke-12 mengatakan hal yang sama ? Katanya,
jangankan menjadikan pemimpin, jadi teman setia saja tidak boleh !
Lalu, apa yang dilakukan pasangan Anies Baswedan-Sandiaga Uno, piye iki ?
Inilah kegusaran saya. Seringkali
masyarakat bawah dibuat bingung dengan elit politiknya. Bayangkan saja,
baru mau mencalonkan saja sudah begini, berbeda apa yang diucapkan
dengan apa yang diperbuat, apalagi kalau sudah menjabat. Jika saja, jika
sebelumnya tidak ada perkataan yang terucap bahwa menjadikan teman
setia tidak boleh tentu hal ini sah-sah saja dilakukan. Bersekutu,
membuat persetujuan, kerjasama, saling mendukung lumrah-lumrah saja
dilakukan dalam politik.
Maka tak aneh, orang sering mengidentikan
politik dengan kekotoran. Sebabnya sudah jelas, politik mengaburkan
moral seseorang. Politik seringkali mengenyampingkan hal-hal yang ideal
demi mengejar sesuatu yang pragmatis sifatnya. Maka, dalam politik tidak
ada hal yang haram. Apapun dilakukan, bahkan menggunakan atau mencomot
ayat-ayat dalam kitab suci untuk memojokkan lawannya, menjatuhkannya,
menenggelamkannya hingga ke dasar. Padahal sejatinya politik mesti
membawa nilai positif. Hal ini dikonfirmasi Aristoteles, lebih dari 2000
tahun yang lalu bahwa tujuan politik adalah menghantarkan manusia pada
hidup yang baik.
Namun dalam kenyataannya, agama dan
politik telah diuji oleh hukum besi sejarah. ketika keduanya
berkelindan, jadilah mereka –seperti yang dimaksud Charles Kimball-
sebagai iblis pembawa bencana.
Mengapa demikian ? Sebab teks-teks yang
dicomot dari kitab suci agama seringkali dikutip dan dijual untuk
memuluskan hasrat dan syahwat kekuasaan (politik). Memang Kimball tidak
secara letterlijk menyatakan bahwa politik sebagai satu-satunya
motif, karena ada motif lain seperti ekonomi dan sosial, tetapi
jalannya sejarah memberikan bukti yang cukup shahih bahwa banyak penganut agama bukan bertuhankan Allah, Yahweh, Hyang Widi melainkan bertuhankan politik! Ya, politik pragmatis !
Dari catatan sejarah kita belajar,
penyatuan agama dan politik hanyalah cara-cara memuluskan kekuasaan
melalui doktrin-doktrin agama. Baik bagi agama maupun politik,
cara-cara ini mengotori tujuan mulia keduanya. Politikus memanfaatkan
isu-isu agama demi mendapatkan suara dari umat, dari masyarakat awam. Di
sisi yang lain, masyarakat awam cenderung terlena sekaligus terpukau
dengan jargon-jargon agama yang dipakai politikus. Agama menjadi aparatus politikus untuk mencapai tujuannya.Sejatinya agama harus dikembalikan ke-khittah. Kembali ke asal muasal tujuannya, tanpa campur tangan politik.
Kasus Anies-Sandi yang bekerja sama dengan
Taipan Hary Tanoe membuka mata kita lebar-lebar. Bahwa sesungguhnya di
atas segalanya, yang paling kuat itu adalah kepentingan. Agama, politik,
kekuasaan dan apapun yang sifatnya pragmatis dapat duduk bersama. Jadi,
jangan katakan ayat “awliya” berlaku untuk kerjasama mereka. Ayat “Awliya”
hanya berlaku bagi Ahok. Ya, Ahok semata, bukan yang lain. Kita tidak
boleh memilihnya, kata mereka, sebab Ia nonmuslim. Di sisi lain mereka
kemudian berjabat tangan dengan kekuatan Perindo, sungguh lucu hidup
ini. Lalu, bagaimana dengan nasib umat ? Tanyakan saja pada rumput yang
bergoyang.(seword.com by Akhmad Reza)
baca juga:- Skandal Korupsi E-KTP, Membuat Kita Tambah Paham Siapa Ahok Sebenarnya
- Jokowi: Rp 6 Triliun hanya buat Ubah KTP dari Kertas Jadi Berplastik, Kacau Gara-gara Dikorupsi
- Veronica Tan, Perempuan Hebat Partner Ahok
baca juga:- Skandal Korupsi E-KTP, Membuat Kita Tambah Paham Siapa Ahok Sebenarnya
- Jokowi: Rp 6 Triliun hanya buat Ubah KTP dari Kertas Jadi Berplastik, Kacau Gara-gara Dikorupsi
- Veronica Tan, Perempuan Hebat Partner Ahok