Salah satu adegan kelompok massa berpeci dan bersarung dengan latar belakang 'Ganyang Cina'. (Twitter) Beritaterheboh.com - ...
Salah satu adegan kelompok massa berpeci dan bersarung dengan latar belakang 'Ganyang Cina'. (Twitter) |
Beritaterheboh.com - Jagad maya dihebohkan dengan sebuah postingan video kampanye pasangan petahana nomor urut dua, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok)-Djarot Saiful Hidayat. Video berdurasi dua menit itu dianggap mendeskriditkan kelompok tertentu.
Dalam video itu, terdapat adegan dimana beberapa orang berpeci hitam layaknya dalam sebuah demontrasi berlatar spanduk putih bertulis Ganyang Cina. Adegan ini yang dianggap mendiskreditkan pihak tertentu dan memprovokasi. Video yang tersebar melalui akun twitter, facebook maupun instagram direspon pemrotesnya dengan hastag #KampanyeAhokJahat.
Namun, hal itu dibantah Tim pemenangan Ahok-Djarot Bidang Data dan Informasi, Eva Kusuma Sundari. Menurutnya, pihak yang memprotes justru dalam perspektif pendukung kekerasan.
“Jadi para pengecam memainkan frame politisasi SARA karena tidak pakai perspektif korban tapi pendukung. Kami konsultasi ke para profesional ahli iklan, aktivis HAM, aktivis perempuan, responnya bagus,” katanya sast dihubungi, Senin (10/4/2017).
Adapun adegan ‘Ganyang Cina’ merupakan cerminan realitas yang terjadi saat ini. Maka dia meminta video tersebut tidak dijadikan sebuah propaganda. “Video itu cerminan realitas, jangan diframe sebagai propaganda. Realitas itu bukan rekayasa, ada fakta-fakta di sekitar kita, jumlah spanduk, penghadangan, penghalangan, penggunaan rumah ibadah dan fasilitas umum dan lain-lain. Semua jadi disfungsi karena politisasi SARA,” jelas Eva.
Eva menegaskan, pasangan calon petahana tidak mempunyai rekam jejak menggunakan isu SARA. Eva menilai justru pasangan Ahok-Djarot menjadi korban isu politisasi SARA dalam Pilkada DKI Jakarta.
“Basuki-Djarot tidak punya track record politisasi SARA, justru jadi korban politisasi sara dengan kriminalisasi penistaan agama. Ibaratnya, ada survival dari korban KDRT bikin film kampanye anti KDRT, masak para korban dituduh propaganda KDRT ketika membeber realitas kekerasan yang dialaminya. Ini soal framing saja menurutku,” pungkas Eva.(lensaindonesia.com)