Beritaterheboh.com - Rezim ini kelihatan tak mendukung masyarakat Rohingya yang jadi korban pengusiran dan pembantaian. Apakah karen...
Beritaterheboh.com - Rezim ini kelihatan tak mendukung masyarakat Rohingya yang jadi korban pengusiran dan pembantaian. Apakah karena kebetulan mereka muslim? ~ Fadli Zon.
Tak sulit menerka apa maksud dari pernyataan Wakil Ketua DPR RI melalui tweet-nya di atas (Minggu, 3/9). Juntrungnya begitu jelas: jualan isu Rohingya demi kepentingan politik dirinya juga gerbongnya.
Di Indonesia, mereka-mereka yang tergabung dalam partai oposisi agaknya memang punya mental pecundang seperti itu. Tak peduli apakah ujarannya akan memicu konflik atau tidak, selama itu datangkan untung bukan buntung, apa saja bisa jadi bahan jualan, termasuk sekalipun krisis kemanusiaan yang tengah terjadi di Rathine State, Myanmar.
Fadli jelas bukan orang bodoh—setidaknya tak bodoh-bodoh amatlah. Ia paham betul bahwa isu Rohingya hari ini sangat marketable. Dengan menjualnya, keuntungan + bonus-bonus penyertanya akan mudah didapat.
Di berbagai linimasa media sosial seperti Facebook dan Twitter, isu itu seolah menjadi sorotan sentral, terutama dari umat muslim di Indonesia. Lihat saja bagaimana gambar-gambar terkait kasus ini terus disebar.
Yang sadis-sadis sengaja dipertontonkan. Entah hoax atau tidak, tak peduli. Yang terpenting, publik tahu bahwa mereka punya kepedulian lebih. Mereka tampil mengklaim diri sebagai saudara dalam se-iman, atas nama agama. Semua hanya untuk meraih simpati.
Momentum semacam inilah yang juga Fadli hendak peralat. Ia sisipkan kampanye terselubungnya. Ia masukkan itu di tengah gejolak emosi warga-warga muslim yang melihat “saudara”-nya yang tengah menderita di seberang sana. Terkesan ia ingin katakan: “Ini lho kami, peduli muslim, pejuang Islam dan kemanusiaan.”
Sementara, di sisi lainnya, kesan dari laku Fadli itu juga menegaskan: “Jokowi bukan sosok pemimpin yang punya kepedulian yang sama. (Kubu) Jokowi beda dengan kami (kubu Prabowo).” Terang jelas.
Sebenarnya agak aneh melihat ada petinggi DPR tunjukkan sikap “kacangan” seperti itu. Tapi, karena itu datangnya dari Fadli, salah satu haters Jokowi yang bisa dikatakan paling getol mengumbar benci kesumatnya pada pemerintahan yang sah, maka wajar kiranya jika selalu ada ocehan murahan darinya yang demikian.
Ya, kita tahu, bukan kali itu saja Fadli mengumbar dendam-bencinya pada Jokowi. Beberapa waktu lalu, anggota Fraksi Partai Gerindra ini juga menuding Jokowi sering kumpulkan buzzer-buzzer di Istana. Masalah ini pun lagi-lagi jadi bahan jualannya demi kepentingan politiknya.
“Di tengah wabah hoax, hate speech, dan eksploitasi isu SARA di kalangan pengguna media sosial kita, mengumpulkan para buzzer pendukung pemerintah adalah bentuk komunikasi politik yang bermasalah dari seorang kepala negara. Kegiatan semacam itu sebaiknya disudahi karena hanya akan merusak wibawa negara dan kontraproduktif dengan usaha Polri yang sedang membongkar mafia penyebar hoax dan kebencian di media sosial.”
Padahal, momentum tersebut adalah pertemuan Presiden Jokowi dengan para aktivis/pegiat media sosial (netizen). Di situ, sebagaimana Jubir Presiden (Johan Budi) katakan, Jokowi menyampaikan imbauan untuk tidak saling maki-memaki di media sosial kepada siapa pun. Presiden meminta kepada netizen untuk tetap bijak dan santun dalam menggunakan medium paling berpengaruh di jagat raya ini.
Bung Fadli, masa iya upaya merawat perdamaian dari Presiden Jokowi seperti itu malah sampeyan nilai sebagai hal yang merusak? Tolong, sesekali pakai otaklah. Jangan terlalu ambisius, melulu pakai otot apalagi dengkul. Berpikirlah sedikit, bung!
Tentu, masih banyak ocehan-ocehan Fadli lainnya yang itu hanya mengarah kepada satu titik: membungkam-merusak citra Jokowi. Tujuannya? Apalagi kalau bukan semacam kampanye politik jelang Pilpres 2019.
Andai Fadli memang benar-benar peduli pada kasus-kasus kemanusiaan, tentu sikap itu juga akan terlontar terhadap kasus yang sering juga menimpa warga Ahmadiyah dan Syiah di Indonesia. Tapi, sejauh pengamatan saya, hampir tak pernah ada pembelaan Fadli atas kasus yang menimpa warga-warga yang juga merupakan muslim Indonesia itu.
Jika tak percaya, cek saja di Google. Ketikkan kata kunci seperti ini: “Fadli Zon dan Ahmadiyah”, misalnya. Bandingkan dengan kata kunci “Fadli Zon dan Rohingya”. Selamat mencoba.
Melihat tindak-tanduknya seperti itu, maka merespons Fadli harus saya (semoga juga kalian) tempatkan sebagai keniscayaan. Masyarakat perlu tahu, sikap pemerintah nyaris tak pernah sama dengan apa yang dicitrakan Fadli dan konco-konconya selama ini.
Justru, apa yang ditampilkan Fadli dkk, (khawatir saya) kebanyakan adalah manipulasi fakta. Apalagi diketahui bahwa pemerintah Indonesia melalui Menteri Luar Negeri-nya telah membawa misi kemanusiaan itu langsung ke Myanmar. Maka tak salah jika saya menyebut tweet Fadli di atas masuk kategori sebagai aksi tipu-tipu alias hoax. Perlukah ditangkap? Tergantung polisi saja.
Terlepas dari itu, yang ingin saya tekankan adalah pentingnya narasi tandingan. Jika orang-orang semacam Fadli ini terus dibiarkan bersuara, beroceh seenak dengkul, maka tidak menutup kemungkinan bahwa ujaran-ujarannya yang sangat sarat akan fitnah dan kebohongan itu menjelma jadi sebuah kebenaran.
Ingat kata-kata Menteri Propaganda Nazi, Joseph Goebbels: “A lie told once remains a lie but a lie told a thousand times becomes the truth.” Potensi kebohongan jadi kebenaran inilah yang harus diredam. Tentunya, bersama kita bisa; bekerja sama dan kerja bersama.(qureta.com)