Beritaterheboh.com - Sengketa lahan proyek pembangunan Stasiun Mass Rapid Transit (MRT) Fatmawati, Jakarta Selatan, sudah terjadi sejak...
Beritaterheboh.com - Sengketa lahan proyek pembangunan Stasiun Mass Rapid Transit (MRT) Fatmawati, Jakarta Selatan, sudah terjadi sejak sekitar empat tahun yang lalu. Ketika itu, Gubernur DKI Jakarta masih dijabat Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok. Masalah ini berlanjut sampai Ahok diganti Djarot Saiful Hidayat dan kini Anies Baswedan.
Sampai sekarang, masih ada empat lahan yang belum bisa dibebaskan oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta untuk pembangunan Stasiun MRT. Sebabnya, para pemiliknya berkeras tak mau melepaskan haknya karena menilai ganti rugi yang diberikan pemerintah terlalu rendah.
Heriyantomo, salah satu pemilik lahan di Jalan Haji Nawi, punya pandangan sendiri mengenai cara para gubernur DKI menangani sengketa pembebasan lahan.
"Saya enggak tahu apakah nanti dia (Gubernur Anies Baswesan) mematuhi hukum atau tidak," kata Heriyantomo kepada Tempo di Jalan Raya Fatmawati pada Senin, 23 Oktober 2017.
Ini berbeda dengan tindakan Ahok maupun Djarot yang memilih menunggu putusan MA, sebelum menggusur lahan di sana. Tindakan Anies yang memilih mendahului MA dalam penggusuran, kata Heriyantomo, tak sesuai dengan janjinya dalam Pilkada 2017 yang antipenggusuran. "Kalau ada pembongkaran artinya tidak sesuai dengan janjinya," ucap Heriyantomo.
Pekan lalu, Anies memang memerintahkan Wali Kota Jakarta Selatan Tri Kurniadi untuk mengeksekusi empat lahan sengketa di area proyek Stasiun MRT Fatmawati di kawasan Haji Nawi pada pekan ini. Pernyataan itu muncul setelah Mahesh, salah satu pemilik lahan, menyatakan rela lahannya dieksekusi apapun putusan MA.
Selain Mahesh, para pemilik lahan di sana masih menolak tawaran ganti rugi Rp 33 juta per meter persegi. Mereka meminta pemerintah membayar Rp 150 juta per meter persegi. Karena tuntutannya tak dikabulkan, mereka lantas menggugat ke Pengadilan Jakarta Selatan pada Februari 2016. Putusan Pengadilan Jakarta Selatan menetapkan angka ganti rugi sebesar Rp 60 juta. Atas putusan itu, pemerintah daerah mengajukan kasasi ke MA.
Pengacara Lembaga Bantuan Hukum Jakarta Alldo Fellix Januardy membenarkan bahwa Anies harus menunggu putusan MA sebelum mengeksekusi lahan yang masih bersengketa secara hukum. Jika Anies ngeyel melakukannya, kata Alldo, dia akan melanggar Undang-Undang nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum.
Menurut Alldo, di era pemerintahan Ahok sebenarnya terjadi pula eksekusi lahan sebelum ada putusan yang berkekuatan hukum tetap. Tapi itu tidak bisa menjadi pembenaran untuk kebijakan serupa yang hendak dilakukan Anies. Oleh karena itu, Alldo menyarankan Anies untuk mengeksekusi lahan hanya setelah keluarnya putusan MA. "Kami harap Gubernur Anies Baswedan tak mengulang kesalahan pendahulunya," kata dia kepada Tempo, Senin, 23 Oktober 2017.(tempo.co)