Beritaterheboh.com - Media sosial sedang diramaikan dengan kisah seorang dokter muda yang mengabdi di pedalaman Papua. Kisah ini menjad...
Beritaterheboh.com - Media sosial sedang diramaikan dengan kisah seorang dokter muda yang mengabdi di pedalaman Papua.
Kisah ini menjadi viral usai dibagikan oleh sang dokter muda dengan akun Facebook-nya bernama Amalia Usmaianti pada 7 Juni 2018 silam.
Melalui akun Facebook-nya tersebut, Amalia menceritakan perjuangannya bertugas di pedalaman Papua untuk merawat-merawat pasien di sana.
Ia menceritakan pengalamannya menempuh perjalanan sepanjang 16 kilometer untuk melakukan puskesmas keliling dari Puskesmas Ninati menuju Desa Tembutka.
Saat sudah menempuh perjalanan 7 kilometer, bidan yang ada di dalam timnya mengalami pusing, berputar dan vertigo, ia kemudian memberinya terapi di tengah jalan dan membopongnya.
Namun saat sedikit berjalan kemudian, sang bidan pingsan dan dokter beserta timnya membuat tandu untuk mengangkat bidan dan kembali ke puskesmas dengan keadaan jarak lebih jauh dan hari mulai gelap.
Terlihat dalam foto, lokasi perjalana dokter Amalia terlihat berada di antara hutan dan jalan yang masih berupa tanah merah.
Melalui kisah tersebut, ia merasa menjadi perantara bagi masayrakat dan netizen untuk melihat desa tempatnya bertugas masih belum merasakan kemajuan zaman.
Di sana, belum ada alat komunikasi yang memadahi, belum ada listrik, dan juga belum ada sinyal radio.
Banyak masyarakat sakit yang dibopong oleh keluarganya sendiri karena keterbatasan di sana yang masih dirasakan masyarakatnya.
Simak unggahan selengkapnya di bawah ini!
"Perjalanan dari puskesmaa ninati menuju desa tembutka berjarak 16 km.
Tujuan pusling keesokan hari, awal peejalanan tdak ada keluhan, setelh jalan 7km, pasien pusing, berputar, riw fertigo +.
Saya beri terapi di tengah jalan,, pasien masih di bopong berjalan, 400 meteran jalan, pingsang, kami membuat tandu untuk mengangkat pasien, mau kembali ke puskesmas, jarak lebih jauh, dan hari mulai gelap, takut kemalaman dan bnyak ular,, jd km lanjut ke desa tembutka..
Pasien tersebut adalah bidan tim kami, yg saya rasa saya akan sebut pasien mengingat ia adalah org sakit,, saya rasa kami hanyalah perantara, agar desa tersebut dapat dilihat oleh dunia luar, bahwa masih ada tempat yg ditinggali masyarakat indonesia yg jauh dari kita, jauh dari alat komunikasi, yang belum ada listrik, sinyal radio dsb.
Bnyak masyarakat sakit yg dibopong keluarganya sendiri, namun mereka tidak punya alat untuk merekam kepedihan yg mereka rasakan selama puluhan tahun, sebwlum ada tim Nusantara Sehat @nusantarasehat, yg menetap di desa tersebut, mereka memilih berobat ke papua newgini, dengan jalan kaki..
Akses jalan tdak pernah ada kejelasan, masyarakat jalan berhari2 mengantar anak sekolah, masyarakat menggendong anaknya usia 17 an tahun, kakek2 dll dibawa berobat, tidak ada yg tau,, kami hanya perantara,, tdak ingin dipuji dsb, cuma ingin negara tau, disana bnyak masyarakat yg perlu diperhatiakan kehidupannya,,, set bppsdmkes jkt @kementriankesehatanRI" tulis dokter Amalia pada keterangan fotonya.
Melansir dari Kompas.com pada Rabu (20/6/2018), diketahui dokter Amalia bertugas di pedalaman Boven Digoel Papua.
Ia bergabung dalam program Nusantara Sehat dari Kementerian Kesehatan dan ditugaskan selama 2 tahun di Puskesmas Ninati, Kabupaten Boven Digoel, Papua.
Dokter lulusan Ilmu Kedokteran Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara itu sudah bertugas di sana sejak 17 Mei 2017 bersama 6 orang lainnya.
Dalam tim tersebut terdiri dari dirinya sebagai dokter umum dan 6 rekannya yang merupakan perawat, bidan, ahli kesehatan lingkungan, ahli gizi, analis kesehatan, dan apoteker.
Dokter Amalia menjelaskan banyak hal terkait kondisi pedalaman Papua saat diwawancari Kompas.com pada Kamis (14/6/2018).
Diketahui, sebelum ada program Tim Nusantara pada tahun 2015, masyarakat di Distrik Ninati lebih memilih beribat ke Papua Nugini karena terbatasnya layanan kesehatan di tempat mereka tinggal.
“Sebelum kami menetap itu, hanya ada puskesmas pembantu yang dikunjungi sebulan sekali dari puskesmas distrik lain yang terdekat. Dan jarak (masyarakat) ke puskesmas dengan ke Papua Nugini lebih dekat ke Papua Nugini, lewat hutan-hutan begitu,” kata perempuan kelahiran Medan, 15 Mei 1990 ini.
Puskesmas tempat dokter Amalia bertugas pun hanya memiliki 3 staf yang terdiri dari kepala puskesmas, bidan, dan perawat.
“Tapi (mereka) jarang di tempat, karena kami (Tim Nusantara Sehat) stay di tempat,” ujar dia.
Dokter Amalia juga menceritakan bahwa masyarakat di pedalaman tidak memiliki akses untuk berkomunikasi dengan dunia luar karena terbatasnya piranti dan jaringan komunikasi.
“Untuk jaringan, tergantung cuaca. Kalau hujan ada petir, hilang sinyal, kami naik-naik pohon buat cari sinyal,” kata Amalia.
Bahkan jalanan di 5 kampung ke distrik yang berbatasan langsung dengan Papua Nugini juga belum diaspal dan mengakibatkan mobilitas menjadi sangat terbatas.
Jalan di sana masih tanah liat yang kalau hujan jadi lumpur dan tidak bisa dilewati kendaraan.
Keterbatasan air dan listrik juga jadi masalah tersendiri di Distrik Ninati.
“Ternyata harus hujan dulu baru deh bak mandi terisi. Untuk keperluan mandi dan mencuci, kami biasa ke sungai. Untuk konsumsi kami ambil dari mata air di dekat rumah-rumah warga,” kisah Amalia
Untuk masalah listrik pun, di Ninati yang disuplai dari tenaga solar juga tidak dapat dipastikan waktunya.
Kadang solar susah dicari, bisa sebulan hanya sekali (nyala), bisa juga sebulan itu satu atau dua minggu nyala terus karena ada dana dari kampung (untuk membeli solar),” kata dia.
Harapan dokter Amalia untuk tempatnya bertugas adalah agar jalanan di sana segera diaspal.
Agar dapat memudahkan proses merujuk pasien, tak hanya itu akses jalan yang baik juga memudahkan masyarakat untuk berinteraksi dengan dunia luar dan menjual hasil tanamnya di kota.
Karena, ia sendiri pun juga merasakan kesulitan untuk merujuk pasien karena jalanan yang hancur.
Tak hanya itu, masyarakat juga membutuhkan informasi dan contoh agar pemikirannya lebih maju.
Hingga kini, semua pelayanan kesehatan yang disediakan Puskesmas diberikan secara gratis untuk masyarakat.
Di Distrik Ninati, tingkat pendidikan masyarakat masih rendah, bahkan untuk kehidupan sehari-hari, mereka masih mengandalkan hasil bertanam dan mencari ikan di sungai.
Mereka juga menerima dana bantuan dari pemerintah setiap 3 bulan sekali.
(Tribunnews.com/Natalia Bulan Retno Palupi)