Beritaterheboh.com - Ketua umum Partai Gerindra Prabowo Subianto mengatakan kondisi Indonesia saat ini sedang dalam keadaan sakit. Begitu...
Beritaterheboh.com - Ketua umum Partai Gerindra Prabowo Subianto mengatakan kondisi Indonesia saat ini sedang dalam keadaan sakit. Begitu sakitnya, Prabowo mengibaratkan elite di Indonesia seperti seorang pasien yang tak percaya hasil pemeriksaan laboratorium kesehatan.
"Saya berpendapat bahwa negara kita sedang dalam keadaan sakit, kalau manusia sakit sudah datang ke dokter dan datang ke lab kita periksa darah otak semua, satu negara sama juga," kata Prabowo di Masjid Al Furqan, Jakarta Pusat," Sabtu (14/7).
"Kalau badan sakit ya harus diperiksa, Tapi elite bangsa Indonesia tidak mau percaya dengan hasil lab. Kalau datang ke lab kolesterol kita 300 kita marah. Coba ubah turunin (menyuruh dokter)," timpal Prabowo lagi.
Prabowo lalu menuding ada sejumlah elite di Indonesia yang suka menipu rakyat. Para elite di Indonesia yang dimaksudnya itu hanya mementingkan diri sendiri dan serakah, namun ia tak menyebut secara rinci siapa saja elite yang dimaksud.
"Pendapat saya negara ini sakit dan elite bangsa bertanggung jawab. Menurut saya hatinya beku dan hanya mementingkan diri sendiri serakah dan bodoh, sudah serakah bodoh lagi," kata Prabowo.
Prabowo juga menyoroti lemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar AS. Menurutnya pemerintah saat ini dinilai gagal dalam menjaga stabilitas rupiah terhadap dolar AS.
"Badan kalau ilang sekian cc darah setiap hari diujungnya kolaps, bangsa yang kaya kalau dicuri, kolaps. Elite akan menari-nari seakan-akan situasi bagus rupiah tidak masalah, rupiah kemarin di angka 14.400 jadi merosot dari Rp 9000 sekarang 5 tahun merosot 5000, 4000," jelas Prabowo.
Faktanya saat Jokowi JK dilantik kurs dollar saat itu 12.032
https://www.liputan6.com/bisnis/read/3482358/6-penyebab-rupiah-ambruk-nyaris-14000-per-dolar-as
Sementara tahun 2013 dan tahun 2015 menurut Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia Mirza Adityaswara pergerakan rupiah sangat panas, sebagaimana dikutip dari laman tempo.co Selasa, 8 Mei 2018.
. "Volatilitas tidak seperti 2013 dan 2015 yang saat itu memang keras sekali," kata Mirza saat ditemui di Gedung Kementerian Koordinator Perekonomian, Jakarta Pusat.
Mirza menjelaskan pergerakan kurs di negara-negara berkembang pada 2013 ketika pelaku pasar merespons rencana kenaikan suku bunga acuan Bank Sentral AS (The Fed). Hal serupa juga terjadi ketika Bank Sentral AS benar-benar menaikkan suku bunga acuan sehingga kurs kembali bergejolak pada 2015 karena aliran modal keluar dari negara-negara berkembang.
Sehingga tidak heran pada Juli 2013 Nilai Tukar Rupiah (29/7/2013) Menguat ke 10.272 per Dolar AS, sementara akhir desember 2013, rupiah ada dilevel Rp12.200 ( https://economy.okezone.com/read/2013/12/31/278/919658/rupiah-akhirnya-turun-dari-level-rp12-200)
Dalam hitungan bulan, dolar melesat naik pada tahun 2013. Sementara untuk tahun 2015 pemerintah justru bisa menjaga kestabilan nilai tukar rupiah terhadap dollar.
6 Penyebab Rupiah Ambruk 14.000 per Dolar AS
Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira mengungkapkan, ada enam penyebab kurs rupiah terus tertekan melawan dolar AS.
Pertama, menurutnya, investor berspekulasi terkait prediksi kenaikan Fed Fund Rate pada rapat FMOC tanggal 1-2 Mei ini. Spekulasi ini membuat capital outflow (aliran dana keluar) di pasar modal mencapai Rp 7,78 triliun dalam satu bulan terakhir.
"Kenaikan yield atau imbal hasil treasury bond jelang rapat The Fed membuat sentimen investasi di negara berkembang khususnya Indonesia menurun," kata Bhima saat berbincang dengan Liputan6.com, Jakarta, Selasa (23/4/2018).
Penyebab kedua, sambungnya, harga minyak mentah diprediksi naik lebih dari US$ 75 per barel akibat perang di Suriah dan ketidakpastian perang dagang AS dan China.
Ketiga, permintaan dolar AS diperkirakan naik pada kuartal II-2018 karena emiten secara musiman membagikan dividen. Investor di pasar saham sebagian besar adalah investor asing sehingga mengonversi hasil dividen rupiah ke dalam mata uang dolar AS.
"Keempat, importir lebih banyak memegang dolar AS untuk kebutuhan impor bahan baku dan barang konsumsi jelang Lebaran. Perusahaan juga meningkatkan pembelian dolar untuk pelunasan utang luar negeri jangka pendek. Lebih baik beli sekarang sebelum dolar semakin mahal," jelas Bhima.
(Kupmaran.com/liputan6.com)