TULISAN Megawati Soekarnoputri “Kenegarawanan Hakim Mahkamah Konstitusi” (Kompas, 8 April 2024) merupakan bagian dari nota Amicus Curiae dal...
TULISAN Megawati Soekarnoputri “Kenegarawanan Hakim Mahkamah Konstitusi” (Kompas, 8 April 2024) merupakan bagian dari nota Amicus Curiae dalam sidang sengketa Pilpres 2024.
Tujuannya mendorong agar Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) mengambil putusan sesuai hati nurani dan memperlihatkan kenegarawanan.
Apakah pesan dari Presiden RI kelima itu akan didengarkan oleh para hakim MK?
Pihak penggugat dalam sengketa pemilu di MK menuntut agar pasangan capres-cawapres 02 Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka didiskualifikasi.
Pilihan yang sederhana bagi MK adalah menolak gugatan tersebut dan menyatakan bahwa pasangan 02 sah sebagai presiden dan wakil presiden (skenario satu).
Atau sebaliknya menerima gugatan tersebut, Prabowo-Gibran didiskualifikasi dan diadakan pemilihan ulang oleh rakyat Indonesia antara pasangan 01 Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar melawan pasangan 03 Ganjar Pranowo-Mahfud MD (skenario tujuh).
Bila dianggap pemilihan ulang oleh seluruh rakyat Indonesia itu memberatkan, maka dapat pula pemilihan antara pasangan 01 melawan pasangan 03 dilakukan oleh anggota MPR saja (skenario enam). Apakah ada jalan tengah dari kedua kutub ekstrem tersebut?
Pakar UI, Titi Anggraini mengatakan bahwa MK berpeluang memutuskan PSU (pemungutan suara ulang) pada titik-titik yang terkait pergerakan distribusi bansos (bantuan sosial) yang sejalan dengan politisasi birokrasi dan perangkat desa.
Namun, ini rasanya tidak akan berpengaruh sangat besar kepada pergeseran perolehan suara sehingga menyebabkan perubahan urutan pemenang Pilpres 2024. Pilihan yang minimalis ini dapat menjadi skenario dua.
Menurut Denny Indrayana (“Mencari Keadilan Pilpres 2024”, Kompas, 4 April 2024), sidang sengketa Pilpres selama ini bergerak antara pendekatan kuantitatif (rekapitulasi suara) berhadapan dengan argumentasi kualitatif (kecurangan pemilu).
Dilema MK adalah menciptakan keadilan pemilu yang menghormati suara rakyat sekaligus tidak memberi toleransi terhadap kecurangan pemilu.
Apabila dapat dibuktikan terjadi kecurangan konstitusional dalam Pilpres 2024, maka dapat saja pasangan 02 didiskualifikasi. Namun ini tampaknya kurang menghargai suara yang sudah diberikan kepada pasangan calon ini.
Bisa pula yang didiskualifikasi hanya Gibran, sementara Prabowo tetap akan jadi presiden. Sebagai pengganti Gibran, menurut Denny Indrayana, dipilih dua nama yang diajukan presiden terpilih.
Pemilihan dilakukan tidak oleh seluruh rakyat Indonesia, tetapi cukup oleh anggota MPR (skenario tiga).
Ini tampaknya merujuk kepada pasal 8 ayat 2 UUD 1945 “Dalam hal terjadi kekosongan wakil presiden, selambat-lambatnya dalam waktu enam puluh hari, MPR menyelenggarakan sidang untuk memilih wakil presiden dari dua calon yang diusulkan oleh presiden”.
Namun ini tidak memperhitungkan para calon presiden dan calon wakil presiden yang sudah disahkan oleh KPU dan berjuang serta berkampanye dalam Pilpres 2024.
Oleh sebab itu, sebaiknya calon pengganti Gibran itu dipilih dari peserta Pilpres 2024, yaitu (sesuai abjad): Anies Baswedan, Ganjar Pranowo, Mahfud MD, dan Muhaimin Iskandar (skenario empat).
Bisa pula yang melakukan pemilihan bukan hanya anggota MPR, melainkan seluruh rakyat Indonesia (skenario lima).
Dari tujuh skenario yang dipaparkan di atas, kelihatan skenario empat berada di tengah-tengah, dengan argumentasi kualitatif, menghormati suara yang sudah diberikan rakyat dan tidak memberi toleransi kepada kecurangan konstitusional.
Jadi dalam hal ini, Prabowo Subianto tetap akan menjadi presiden, Gibran didiskualifikasi dan sebagai penggantinya dipilih dalam tempo 60 hari oleh anggota MPR yang masih aktif sekarang ini di antara empat calon: Anies Baswedan, Ganjar Pranowo, Mahfud MD dan Muhaimin Iskandar.
Apakah ada skenario atau kombinasi pilihan lain yang lebih baik?
Akhirnya, apakah pengambilan putusan itu juga dipengaruhi pula perkembangan politik mutakhir terutama hubungan segitiga antara Jokowi-Megawati-Prabowo?
Bila terjadi pendekatan antara Megawati dengan Prabowo, maka ini akan memengaruhi koalisi pemerintahan di masa mendatang.
Bagi Prabowo, manuver Jokowi sangat membantu secara signifikan sebelum dan sampai hari H Pemilihan Presiden.
Namun setelah menjadi presiden, Prabowo Subianto jelas lebih membutuhkan dukungan Megawati Soekarnoputri, Ketua Umum PDIP (partai pemenang pemilihan legislatif).
Namun kita tetap berharap MK tidak gentar terhadap tekanan politik, memutuskan berdasarkan hati nurani dan mengambil risiko apa pun sebagai negarawan untuk kepentingan negara dan bangsa ke depan.(nasional.kompas.com)