Beritaterheboh.com - Kritik Ketum Gerindra Prabowo Subianto kepada pemerintahan Presiden Joko Widodo berujung panjang. Nama sang ayah, S...
Beritaterheboh.com - Kritik Ketum Gerindra Prabowo Subianto kepada pemerintahan Presiden Joko Widodo berujung panjang. Nama sang ayah, Sumitro Djojohadikusumo dan mantan mertuanya, Soeharto ikut dibawa-bawa lewat serangan balik PDIP.
Prabowo mengkritik sejumlah hal terhadap pemerintahan Jokowi. Mulai dari sistem ekonomi yang disebutnya menyimpang hingga TNI yang dituding saat ini lemah. Dia juga menuding kekayaan alam Indonesia dikuasai pihak asing.
"Kita merasakan, Gerindra merasakan, dan saya berpandangan dan berkeyakinan bahwa sistem bernegara, sistem politik, dan sistem ekonomi bangsa kita berada di jalur yang menyimpang, menyimpang dari apa? Menyimpang dari rencana dari cetak biru yang dibangun oleh pendiri-pendiri bangsa kita," ungkap Prabowo di video yang diunggah di akun Facebook-nya, @PrabowoSubianto, Selasa (19/6).
"Pelabuhan yang begitu vital, pelabuhan udara yang begitu vital, yang merupakan jalur bernapas sebuah bangsa, banyak sekarang sudah dikendalikan oleh bangsa asing. Saudara-saudara, sumber-sumber ekonomi kita juga sudah lepas kendali dari penguasaan negara dan bangsa Indonesia," imbuhnya.
PDIP sebagai pendukung utama Jokowi tak terima. Kebijakan Sumitro yang pernah menjadi menteri di era Orde Lama dan Orde Baru ikut diseret. Demikian pula dengan kebijakan Soeharto, Presiden RI-2 Indonesia yang merupakan ayah dari mantan istri Prabowo, Siti Hediati Hariyadi alias Titiek Soeharto.
"Aku harus mulai dengan bagaimana ayahnya mengajukan UU PMA (penanaman modal asing) yang copas dari Amerika Serikat yang tidak memberi ruang kepada koperasi untuk tumbuh," kata politikus PDIP Eva Kusuma Sundari kepada detikcom, Rabu (20/6).
Baca juga: Prabowo Kritik Pemerintah, Hanura: Sudah Hopeless Lawan Jokowi
Sumitro merupakan ekonom Indonesia yang cukup terkemuka. Dia pernah beberapa kali menjabat sebagai menteri di era Orde Lama dan Orde Baru, termasuk menjadi menteri keuangan.
Eva juga menyoroti kebijakan yang pernah dilakukan Soeharto ketika masih menjadi presiden. Ini terkait dengan kebijakan dalam aspek perekonomian.
"Atau perjanjian Jenewa yang (mantan) mertuanya kasih konsesi ke perusahaan-perusahaan tambang sebagai konsesi atas penurunan Sukarno dan perjanjian Freeport yang merugikan kita hingga sekarang," sebut Eva.
Gerindra pun turun tangan. Waketum Partai Gerindra Ferry juliantono memberikan pembelaan atas 'serangan balik' dari PDIP itu.
Ferry meminta PDIP lebih bijaksana dalam menanggapi kritik yang disampaikan ketua umumnya. Sebab, menurutnya, setiap pemerintahan memiliki sisi baik dan buruk.
"Saya minta teman-teman PDIP supaya lebih bijaksana menanggapi Pak Prabowo. Setiap orde, apakah Orde Lama, Orde Baru, ataupun orde reformasi ini pasti ada sisi baik dan sisi buruknya. Yang baik kita lanjutkan dan yang buruk kita tinggalkan," ucap Ferry kepada detikcom, Kamis (21/6).
Ferry kemudian menjelaskan mengapa kebijakan terkait UU Penanaman Modal Asing (PMA) dikeluarkan oleh Sumitro saat menjadi menteri. Menurut dia, PMA memang memerlukan modal besar dan teknologi yang maju.
"Karena itu, pemerintah pada saat itu tidak mungkin menunjuk badan usaha koperasi. Ya jadi korporasi besar dan asing," ujarnya.
Kendati demikian, kata Ferry, pelaku usaha kecil-menengah (UKM) dan koperasi tetap mendapatkan dukungan dari pemerintah pada era Soeharto. Jadi, UKM dan koperasi dapat berperan pada bidang perdagangan dan pengolahan barang setengah jadi maupun barang jadi.
"Sekarang kan usaha kecil-menengah dan koperasi bisa dikatakan kapasitasnya menurun karena tidak didukung oleh kebijakan permodalan. Yang ada malah dipajakin," kata Ferry.
Sementara itu, terkait perjanjian Freeport pada era Soeharto yang disebut PDIP merugikan Indonesia, Ferry menyeret kasus mantan Ketua Umum Partai Golkar sekaligus eks Ketua DPR RI Setya Novanto, yang dikenal dengan 'papa minta saham'. Dia mengatakan, jika perjanjian itu memang merugikan, seharusnya pemerintah meninjau ulang, bukan malah meminta bagian.
"Tinjau ulang perjanjiannya supaya menguntungkan negara bukan malah minta saham pribadi-pribadi seperti sekarang yang terlihat dalam kasus 'papa minta saham'," tuturnya.(detik.com)