Beritaterheboh.com - Lama sudah, Jakarta sebagai Ibukota Negara bersinonim dengan kota banjir. Namun dalam dua tahun terakhir,...
Beritaterheboh.com - Lama sudah, Jakarta sebagai Ibukota Negara bersinonim dengan kota banjir. Namun dalam dua tahun terakhir, kata banjir seolah-olah hampir hilang dari kosa-kata warga ibukota. Terakhir ketika intensitas hujan meninggi pada Desember hingga Januari lalu, ketahanan banjir ibukota masih tetap teruji. Sistem drainase Jakarta yg mulai dirintis AHOK masih dapat menampung volume air.
Hal tersebut tidak lepas dari mulainya saluran-saluran air dibersihkan oleh pasukan orange, sebagian sungai yg juga sudah di normalisasi, sehingga air tidak berhenti dan menggenang ketika hujan, air mengalir sampai jauh ke hilir..
Namun sejak pertengahan Februari sampai saat ini, tidak hanya intensitas hujan yang semakin meningkat (sepanjang hari, pagi hingga malam) namun yang juga sangat menentukan adalah limpahan kiriman air dengan volume besar dari Bogor. Akhirnya beberapa titik di kota Jakarta kembali mengalami banjir walaupun tidak lagi seperti dulu hingga berminggu-minggu air tidak surut. Dalam hitungan jam air-air tersebut sudah kembali dialirkan sampai jauh.
Disini, dimulainya tragedi dan ironi sosial terjadi. Keadaan banjir ini membuat pendukung Anies-Sandi seakan mendapatkan berkah kemenangan. Banjir disambut dengan tawa dan sukacita, seakan mendapatkan amunisi baru. Sebuah sukacita dan kegembiraan di atas beban dan derita masyarakat yg menjadi korban banjir, walau tak lagi bermingu-minggu.
Berbagai postingan di FB, meme dan nyinyiran bermunculan yang memuat berita banjir Jakarta yang tentu saja peluru-peluru itu di arahkan kepada AHOK, dengan framing Ahok tidak mampu mengatasi banjir. Dalam benak mereka, banjir yg adalah malapetaka ternyata menjadi sebuah kebanggaan, bahkan bila perlu datanglah banjir yang lebih besar lagi.
Tawa dan sukacita di atas penderitaan warga yg menjadi korban banjir adalah sebuah ironi kemanusiaan. Hasrat dan keinginan untuk berkuasa telah menafikan nalar dan nurani kemanuisaan. Dan semua itu hanya karena kepentingan politik jangka pendek; Pilkada.
Bila nalar masih sehat, volume air akibat hujan yg terus-menerus plus limpahan air dari Bogor, tidak akan mampu ditampung oleh sungai-sungai di Jakarta yang menyempit dipenuhi oleh para penduduk. Bila nalar masih sehat, tingginya volume air yg masuk ke Jakarta seperti saat ini dan kondisi 60% bantaran sungai masih diduduki warga, maka banjir adalah konsekuensi logis dan tidak terhindarkan.
Bila nalar masih sehat, banjir bukan urusan Ahok saja. Mengatasi banjir adalah tanggungjawab semua warga Jakarta. Seharusnya banjir menjadi keprihatinan bersama yg melampaui kepentingan politik sesaat, apalagi yg konon berhasrat ingin jadi pemimpim. Lalu di mana tempat tawa dan sukacitamu? Di luar hati nurani dan akal sehatmu.
Namun Fakta dan data telah memperlihatkan bukti kerja AHOK selama mengabdi bagi warga Jakarta. Dari ratusan titik banjir yg menjadikan kota Jakarta sebagai Ibukotanya banjir, kini hanya dalam dua tahun, titik-titik banjir tersebut hanya tinggal 80 titik. Masihkah nalar menolak dan nurani terus dibutakan?
Penrad Siagian