Berbagai kompromi dilakukan pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) jelang akhir masa kuasanya. Terbaru, pencabutan nama Presiden ke-2 RI...
Berbagai kompromi dilakukan pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) jelang akhir masa kuasanya.
Terbaru, pencabutan nama Presiden ke-2 RI Soeharto dari Ketetapan (TAP) MPR Nomor 11 Tahun 1998, yang berisi perintah untuk menyelenggarakan pemerintahan yang bersih serta bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN).
Seperti diketahui, saat Soeharto lengser keprabon 1998, orang kuat itu 'dianugerahi' status KKN, karena 32 tahun pemerintahannya diwarnai KKN.
Atas hal itu, pakar hukum tata negara Yusril Ihza Mahendra menegaskan pencabutan TAP MPR itu merupakan keputusan yang sangat penting.
Yusril menekankan pentingnya menghargai pemimpin di masa lalu.
"Memang ini suatu keputusan penting untuk bangsa dan negara kita. Sebab kita ini menghargai para pemimpin kita di masa lalu. Karena pemimpin itu harus kita tempatkan pada konteks zamannya. Kita tidak bisa menilai masa yang lalu dengan masa kini," ujarnya di Hotel Fairmont, Jakarta, Jumat (27/9/2024) malam.
Menurut Yusril, keputusan ini membuka peluang bagi Presiden untuk memberikan anugerah gelar pahlawan nasional kepada Soeharto.
Ia juga menyarankan agar gelar serupa diberikan kepada Presiden ke-4 Abdurrahman Wahid (Gus Dur), yang namanya juga dicabut dari TAP MPR.
"MPR itu hanya menyatakan bahwa TAP terkait dengan Gus Dur itu sudah selesai. TAP terkait dengan Pak Harto malah sudah dilaksanakan. Bahkan disebutkan secara tegas Pak Harto kan, dalam rangka pemerintahan yang bersih dan bebas KKN, disebutkan itu mengambil suatu langkah hukum terhadap Pak Harto, keluarga, dan kroni-kroninya itu yang disebut. Terhadap Pak Harto-nya sendiri itu sudah selesai," jelas Yusril.
"Dan saya merupakan saksi sejarah tentang hal itu. Karena pada waktu saya jadi Menteri Kehakiman, hakim-hakim itu masih di bawah saya pada waktu itu. Pak Harto tapi tidak bisa diadili. Dan ketika saya jadi Mensesneg saya bertemu Pak Harto di RS Pertamina pada waktu itu. Dan Pak Harto berbicara pribadi dengan saya, mengenai status beliau yang sampai saat itu masih terdakwa," sambungnya.
Usai mendengar curhatan Soeharto, Yusril pun mengambil langkah sebagai Mensesneg di era Presiden ke-6 Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
Dia menyebut keputusan untuk menghentikan penuntutan terhadap Soeharto juga sudah disetujui SBY.
"Pemerintah ambil keputusan untuk menghentikan penuntutan terhadap Pak Harto karena beliau memang tidak bisa diadili," kata Yusril.
"Jadi sebenarnya TAP MPR itu sendiri memang betul sudah dilaksanakan. Apalagi beliau sudah berpulang, sudah tidak ada lagi. Secara pidana kan tidak mungkin menuntut orang yang sudah meninggal," imbuhnya.
Sebelumnya, Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) resmi mencabut nama Soeharto dari Ketetapan (TAP) Nomor 11 Tahun 1998.
Keputusan tersebut diambil dalam Sidang Paripurna Akhir Masa Jabatan MPR Periode 2019-2024 yang berlangsung di Kompleks Parlemen, Jakarta, Rabu (25/9/2024).
Ketua MPR RI Bambang Soesatyo menjelaskan bahwa pencabutan nama Soeharto dari Pasal 4 TAP MPR Nomor 11 Tahun 1998 merupakan tindak lanjut dari permintaan Fraksi Partai Golongan Karya (Golkar) di MPR.
Yusril Ihza Mahendra mengatakan mantan Presiden ke-2 RI Soeharto bisa dianugerahi gelar pahlawan nasional. (Wartakotalive/Alfian Firmansyah)
Permintaan tersebut disampaikan dalam surat tertanggal 18 September 2024, dan keputusan pencabutan telah diputuskan dalam rapat gabungan MPR pada 23 September lalu.
Meskipun demikian, Bamsoet menegaskan bahwa TAP MPR masih berlaku secara yuridis.
"Status hukum TAP MPR Nomor XI tahun 1998 tersebut dinyatakan masih berlaku oleh TAP MPR Nomor I/R 2003," ujarnya.
Namun, proses hukum terhadap Soeharto sesuai Pasal 4 TAP MPR XI/MPR/1998 dianggap selesai karena yang bersangkutan telah meninggal dunia.
"Terkait dengan penyebutan nama mantan Presiden Soeharto dalam Tap MPR Nomor 11 Tahun 1998 tersebut, secara diri pribadi, Bapak Soeharto dinyatakan telah selesai dilaksanakan karena yang bersangkutan telah meninggal dunia,” ujar Bamsoet.
Sementara itu, Wakil Ketua DPR RI Lodewijk F Paulus mendorong semua pihak berbesar hati menerima sikap MPR RI, yang mencabut nama Presiden ke-2 RI Soeharto dari Ketetapan (TAP) MPR Nomor 11 Tahun 1998.
Hal itu disampaikan Lodewijk sebagai respons atas munculnya kritik terhadap pencabutan nama Soeharto dari TAP MPR tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme itu.
“Marilah kita berbesar hati ya. Founding father kita, pak Soekarno sudah diitukan (dicabut), apa salahnya? Mungkin Bapak Gus Dur itu ada salahnya apa? Pak Harto ada salahnya? Mari kita melangkah melihat ke depan,” ujar Lodewijk kepada wartawan, Jumat (27/9/2024).
Politikus Golkar itu menekankan, hal terpenting yang perlu menjadi fokus saat ini adalah membangun bangsa dan negara, demi mewujudkan Indonesia Emas 2045.
Dengan begitu, dia berharap bangsa Indonesia tidak lagi hanya berkutat pada persoalan yang terjadi pada masa lalu, khususnya ketika kepemimpinan Presiden Soeharto.
“Sehingga kita bisa fokus ke depan. fokus kedepan untuk bagaimana membangun bangsa ini. Kenapa? saat kita berbicara 2045, berarti anak-anak yang sekarang, ada usia 20-an tahun itu menjadi pondasi utama. Karena kita mendapatkan bonus demografi,” kata Lodewijk.
Selain itu, Lodewijk berpandangan bahwa generasi muda yang akan menjadi penerus bangsa tersebut, tidak mengetahui detil-detil peristiwa yang terjadi pada masa lalu.
Atas dasar itu, dia berharap keputusan pencabutan nama Soeharto dari TAP MPR, bisa membuat para generasi muda lebih fokus mempersiapkan diri untuk meneruskan pembangunan.
“Nah anak-anak ini enggak ngerti dia, enggak tau ada apa. Kalau kita hanya berkutat dengan itu saja, ya itu bagian dari sejarah. Tetapi marilah kita berbesar hati kalau satu pihak sudah membuka diri, ada pihak lain juga sebaiknya membuka diri gitu loh,” kata Lodewijk.
“Saya katakan, kita akan fokus. Ini anak-anak muda loh, yang 15-20 tahun nanti akan jadi awak dari bangsa ini, membawa negara ini Indonesia ini. Nah kalo itu terus dibawa, kapan kita mau majunya?” pungkasnya.(wartakota.tribunnews.com)